Saya memiliki pertemuan pertama dengan Pak Luhut Pandjaitan ketika saya masih berpangkat kapten. Saat itu, beliau baru saja kembali dari Timor Timur setelah terlibat dalam Operasi Nanggala 5 di bawah pimpinan Letnan Kolonel Soegito, Dangrup kami.
Saat itu, saya ingat banyak unsur pimpinan Grup 1 turun ke Dili, termasuk Letkol Anumerta Atang Soetrisna, seorang komandan Detasemen dari Grup 1, yang gugur dalam operasi tersebut. Sekarang, lapangan olahraga dan stadion di Cijantung dinamai Stadion Atang Soetrisna.
Tidak lama setelah itu, Pak Luhut menjadi kepala seksi 2 operasi dan saya menjadi wakilnya. Kami berdua dikirim ke Amerika untuk sekolah Special Forces setelah beberapa bulan menjalankan tugas tersebut.
Pada tahun 1981, setelah pulang dari Amerika, saya dan Pak Luhut dipanggil oleh Pak Benny Moerdani dan diminta untuk melanjutkan sekolah ke Jerman, di mana kami belajar di sekolah antiteror GSG9. Setelah menyelesaikan sekolah tersebut, kami membentuk pasukan antiteror yang diberi nama Detasemen 81, yang dibentuk pada tahun 1981.
Tidak lama setelah itu, Detasemen 81 berhasil dalam operasi pembebasan sandera di Woyla, salah satu peristiwa pembebasan sandera paling terkenal di dunia saat itu.
Saat kami membentuk dan melatih pasukan antiteror Indonesia, Pak Luhut memberi saya keleluasan untuk menyusun rencana latihan, administrasi, dan pembangunan. Kami bekerja sebagai tim yang cukup baik meskipun karakter kepemimpinan dan kepribadian kami sama-sama keras.
Saya belajar bahwa Pak Luhut adalah orang yang tegas, berkemauan keras, dan memiliki fisik yang baik. Beliau memimpin dari depan dan sering melakukan lari di depan pasukan. Saya tidak sekuat beliau dalam hal tersebut, tapi saya sering bercanda bahwa orang luar Jawa biasanya lebih kuat karena kampung-kampung mereka jauh. Mungkin hal ini memengaruhi kekuatan mereka dalam berlari atau berjalan.
Pak Luhut juga merupakan seorang penembak yang bagus dan teliti dalam perjalanan. Setelah itu, beliau melanjutkan pendidikan di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Sesko), sementara saya mengikuti pendidikan di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Udara (Suslapa). Meskipun kami jarang bertugas bersama setelah itu, kami selalu saling menghormati walaupun terkadang memiliki perbedaan pandangan.
Setelah pensiun, kami pernah berada di posisi politik yang berseberangan, namun kami tetap saling menghormati dan mencari titik-titik kerja sama untuk kepentingan negara.