Field Marshall Bernard Law Montgomery

by -1096 Views

Oleh Prabowo Subianto [diambil dari Buku 2 Kepemimpinan Militer: Catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn.) Prabowo Subianto]

“Saat itu tidak lama setelah saya pensiun dari TNI, saya tersentuh hati saat membaca surat Montgomery kepada raja Inggris. Montgomery menulis, “Setelah bertahun-tahun saya bertugas untuk kerajaan di luar negeri, kini tiba saatnya saya harus kembali ke Inggris. Saya harus melaporkan bahwa saya agak bingung karena saya pulang tidak memiliki rumah. Semua harta pribadi saya yang saya titip di rumah saudara sudah dihancurkan oleh bom Jerman. Saya mohon perhatian dari Raja.”

Kita dapat membayangkan seorang panglima terkenal, yang memimpin jutaan tentara, terlibat dalam pertempuran-pertempuran terkenal seperti El Alamien, Normandy, dan lainnya, begitu bingung karena tidak memiliki rumah setelah pulang dari perang. Ini terjadi di sebuah negara Barat yang pada saat itu dapat dikatakan sebagai kekuatan besar. Saya merenung, apa arti saya dibandingkan dengan Montgomery.”

Saya telah membaca biografi Field Marshall Bernard Law Montgomery beberapa kali dalam versi yang berbeda-beda. Saya juga sudah membaca otobiografinya. Montgomery merupakan sosok yang menarik. Ia memulai karier militernya dari Akademi Militer Inggris, Sandhurst. Kemudian, setelah lulus, terjadi Perang Dunia Pertama di mana ia ikut berperang dan bahkan terluka parah.

Setelah Perang Dunia Pertama, Montgomery melanjutkan karier militernya, langkah demi langkah, dan saat Perang Dunia Kedua, ia menjadi panglima divisi melawan Jerman di Prancis. Ia juga lolos dalam evakuasi Dunkirk dan menjadi perwira kunci di tentara Inggris setelah peristiwa tersebut.

Ia dikenal sebagai perwira yang sangat profesional, dengan fokus utamanya pada pengabdian di lapangan. Hingga menjadi jenderal, ia tetap sangat bugar. Ia selalu melakukan lari cross country dan tidak pernah merokok serta tidak minum alkohol.

Montgomery gemar mempelajari sejarah dan akhirnya, saat ditunjuk oleh Perdana Menteri Churchill sebagai panglima tentara ke-8 Inggris di Mesir melawan Rommel, ia berhasil mengalahkan tentara Jerman dan Italia dalam pertempuran terkenal El Alamein di Mesir, kurang lebih 100 KM dari Alexandria.

Setelah pertempuran El Alamein, ia mengejar Rommel hingga Tunisia. Ia memimpin pendaratan di Sisilia dan kemudian menjadi panglima pendaratan di Normandia, yaitu dalam Operasi Overlord. Kemudian, ia terus memimpin tentara sekutu sampai berakhirnya Perang Dunia Kedua dan sempat menjadi pimpinan tentara Inggris sampai pensiun.

Tentu, selain karier militernya yang gemilang, ada hal-hal lain yang menarik atau membuat saya kagum tentang dirinya.

Pada suatu saat setelah saya pensiun dari tentara, saya melihat toko buku di Kota Bangkok dan menemukan kotak buku-buku bekas di luar toko tersebut. Saya menemukan biografi Jenderal Montgomery yang tidak terlalu tebal namun banyak berisi foto-foto. Setelah saya membacanya, saya menemukan hal yang menarik, yaitu surat yang ditulis Montgomery kepada Raja Inggris George ke-6 setelah Perang Dunia Kedua berakhir.

Dalam surat itu, ia menulis kepada raja, “Setelah bertahun-tahun saya bertugas untuk kerajaan di luar negeri, kini tiba saatnya saya harus kembali ke Inggris. Saya bicara kepada paduka yang mulia raja sebagai panglima tertinggi saya. Dan saya harus melaporkan bahwa saya agak bingung karena saya pulang tidak punya rumah. Semua harta pribadi saya yang saya titip di sebuah rumah saudara sudah dihancurkan oleh bom Jerman. Anak saya satu-satunya sekarang berada di asrama sekolah dan setiap libur saya titip kepada saudara-saudara dan teman-teman yang ada. Saya mohon perhatian dari Raja.”

Kita dapat membayangkan seorang panglima terkenal, yang pernah memimpin jutaan tentara, terlibat dalam pertempuran-pertempuran terkenal, seperti El Alamien, Normandy, dan sebagainya, begitu bingung karena tidak memiliki rumah setelah pulang perang, dan ia berani menulis surat kepada rajanya sebagai panglima tertinggi. Ini terjadi di sebuah negara Barat yang pada saat itu dapat dikatakan sebagai kekuatan besar. Bahwa ada jenderal panglima yang tidak punya rumah.

Waktu itu saya tersentak, karena nasib yang saya alami sama dengan nasib Montgomery. Setelah saya pensiun, saya juga tidak memiliki rumah pribadi. Saya memiliki rumah dinas, di Cijantung 2, yang memang milik tentara dan saya yakin suatu saat harus saya kembalikan.

Namun ketika saya membaca cerita Montgomery yang juga pulang tanpa memiliki rumah, akhirnya saya mengambil kesimpulan bahwa panglima yang memimpin jutaan prajurit dari negara super power seperti Inggris pada saat itu, juga bisa tidak memiliki rumah, apalagi saya? Apalah saya dibandingkan dengan Montgomery.

Jadi, waktu itu, saya merasa sedih karena tidak memiliki rumah pribadi, namun akhirnya saya merasa terhibur dengan kenyataan tersebut dan pada akhirnya, saya berhasil memiliki rumah pribadi, meskipun melalui perjuangan yang tidak mudah.

Source link