Our Difficult Choices and Struggles

by -139 Views

Oleh: Prabowo Subianto, diambil dari “Strategi Transformasi Nasional: Menuju Indonesia Emas 2045,” halaman 223-227, edisi softcover keempat.

Bagi saya, terlibat dalam politik berarti mengorbankan energi, waktu, dan emosi. Namun, tanpa terlibat dalam politik, tidak mungkin bagi saya untuk meningkatkan kualitas hidup banyak orang.

Saya yakin bahwa perbaikan signifikan dalam kehidupan warga negara kita tidak akan tercapai hanya dengan mengeluh dan melakukan kritik. Begitu juga, kita tidak akan bisa memajukan bangsa kita dengan hanya diam menonton dari pinggiran atau mengomel tanpa tindakan.

Beberapa dari Anda yang membaca buku ini mungkin sudah terlibat dalam politik, atau setidaknya memahami dan peduli dengan politik nasional kita. Ada juga yang mungkin belum terlibat. Saya mengajak Anda yang belum terlibat untuk merenungkan hal-hal berikut.

Ada saat dalam hidup di mana kita harus membuat pilihan yang sulit. Apakah kita berdiri demi kebenaran, atau kita merestui kebohongan?

Apakah kita tegas mempertahankan integritas dan kemerdekaan negara kita serta nilai-nilai yang kita junjung tinggi? Atau, apakah kita tunduk pada godaan materi, menjual nilai-nilai, diri kita sendiri, identitas kita, dan martabat kita?

Pilihan-pilihan seperti itu sangat sulit.

Pada tahun 1945, para pemimpin kita dihadapkan pada dilema serupa: menyatakan kemerdekaan segera atau menunggu diberikan oleh penjajah. Mereka yang mendorong deklarasi segera mengambil risiko segalanya, termasuk nyawa mereka.

Di malam tanggal 10 November 1945, rakyat dan pemimpin Surabaya dihadapkan pada pilihan sulit: menyerahkan senjata kepada Inggris sebelum 9 November atau dihadapkan dengan serangan dari kekuatan dunia pada saat itu.

Bayangkan dampak terhadap kebanggaan nasional kita jika para pemimpin dan warga Surabaya menyerah. Bagaimana jika Gubernur Suryo, Bung Tomo, dan semua pemimpin Jawa Timur dan Surabaya tunduk pada tuntutan asing? Di mana martabat kita akan berdiri hari ini?

Krisis besar bangsa kita pada tahun 1965 juga menawarkan pilihan yang tegas: membela Pancasila atau tunduk pada ideologi asing bagi negara kita, komunisme?

Demikian pula, selama era Reformasi pada tahun 1998, banyak pemimpin kita dihadapkan pada pilihan sulit: membela sistem otoriter atau dengan berani memperjuangkan reformasi dan demokrasi?

Selama 20 tahun perjalanan politik saya, saya selalu menyampaikan pesan yang terdapat dalam buku ini. Di sepanjang jalan, banyak lawan telah berusaha mencemarkan nama saya, menggambarkan saya sebagai pengejar kekuasaan dan cenderung kekerasan.

Namun, setelah puluhan tahun, saya telah membuktikan komitmen saya pada perdamaian. Sebagai mantan prajurit yang telah menyaksikan perang dan korban-korban yang jatuh, yang harus memberitahu keluarga mereka tentang kematiannya, saya selalu memilih jalan perdamaian. Fitnah yang dilontarkan kepada saya sama sekali tidak beralasan. Saya dituduh ingin menutup semua gereja di Indonesia, padahal sebagian dari keluarga saya adalah Kristen. Di antara mereka yang dekat dengan saya—penjaga, ajudan, dan sekretaris—beberapa adalah Kristen.

Sebagai mantan prajurit TNI, saya bersumpah untuk membela semua warga Indonesia, tanpa memandang suku, agama, atau ras. Saya telah mengorbankan nyawa saya, dan banyak bawahan saya dari berbagai latar belakang yang gugur di bawah komando saya.

Bagaimana mungkin saya mengkhianati sumpah saya dan melupakan pengorbanan bawahan saya? Saya juga difitnah sebagai anti-Tionghoa, meskipun saya selalu membela semua kelompok minoritas. Fitnah seperti ini adalah sisi gelap politik. Saya selalu mendorong teman-teman dan pendukung saya untuk tetap sabar dan tenang. Jangan merespon kebencian dengan kebencian, kejahatan dengan kejahatan, fitnah dengan fitnah. Meskipun kita tetap sabar, kita juga harus siap—secara mental, fisik, dan spiritual. Kepada yang membaca buku ini, saya minta Anda untuk merenungkan di malam hari tentang pendapat, sikap, dan respons Anda.

Saya pertanyakan apakah kita akan bersama-sama membela kebenaran atau tunduk pada kebohongan, penipuan, ketidakadilan?

Dan di hari-hari mendatang, setelah merenungkan, saya mengundang Anda untuk melangkah menuju masa depan. Saya telah memilih untuk bertarung berdasarkan konstitusi. Saya menolak untuk tunduk pada keadaan yang tidak adil dan salah. Saya percaya apa yang sedang dialami Indonesia saat ini sangat dipengaruhi oleh campur tangan asing. Beberapa negara ingin melihat Indonesia lemah, hancur, dan miskin.

Saya memiliki bukti kuat keterlibatan mereka. Namun, kita harus tetap tenang. Kita perlu bersabar dan percaya pada kekuatan kita sendiri.

Source link