Military Leadership: Grand General TNI Sudirman

by -231 Views

Dengan berbagai keputusan teladan sebagai Panglima TNI pertama, Jenderal Sudirman telah memberikan warisan yang tangguh dan terhormat bagi generasi berikutnya prajurit TNI: sebuah tradisi kepahlawanan dalam bentuknya yang paling murni.

Dia meninggalkan kepada TNI landasan harga diri dan kebanggaan untuk para pemimpin TNI generasi mendatang. Karakter dan tindakan Pak Dirman pada saat itu menggambarkan karakter dan tindakan seorang pemimpin pejuang sejati.

Heroismenya telah memberikan reputasi TNI sebagai kekuatan tanpa henti yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan individu atau kelompok. Dia mengukuhkan gagasan bahwa prajurit TNI harus berani mengorbankan segalanya demi kehormatan dan kemuliaan bangsa.

Jenderal Sudirman lahir di Purbalingga pada tanggal 24 Januari 1916. Dia adalah seorang guru sekolah dasar di sebuah sekolah yang dijalankan oleh Muhammadiyah di Solo, yang pada saat itu disebut Surakarta. Ketika para pemimpin gerakan kemerdekaan Indonesia berhasil meyakinkan penduduk Jepang bahwa mereka harus mengizinkan penduduk asli Indonesia membentuk organisasi militer pertahanan diri, berbagai organisasi militer diorganisir di bawah pengawasan ketat Jepang.

Di Jawa, kekuatan ini disebut Pembela Tanah Air (PETA). PETA di Jawa diorganisir di tingkat kabupaten, dan ada sekitar 60 batalyon relawan PETA yang dilatih dan diorganisir. Komandan batalyon dipilih dari para pemimpin pribumi yang sangat dihormati di Kabupaten mereka.

Di Purwokerto, seorang kepala sekolah muda dari sebuah sekolah menengah Islam di bawah naungan Muhammadiyah dipilih. Hal ini menunjukkan bagaimana, sebagai seorang kepala sekolah muda, Sudirman sudah terkenal dan dihormati karena integritas dan karakter yang lurus. Pemuda yang lebih muda dengan pendidikan dan reputasi baik dipilih untuk menjadi komandan perusahaan dan komandan peleton. Jepang melatih mereka di pusat pelatihan perwira di Bogor. Di antara komandan perusahaan adalah nama-nama seperti Suharto, Ahmad Yani, Kemal Idris, Surono, Sarwo Edhie dan banyak nama lain yang kemudian menjadi terkenal sebagai pemimpin TNI.

Selama perang, para komandan PETA ini segera menjadi pemimpin batalyon mereka dan berjanji setia kepada republik baru yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Sebagai pemimpin batalyon Purwokerto, Sudirman segera bergerak menuju Magelang, salah satu pusat konsentrasi militer sejak zaman kolonial Belanda. Setelah merebut Magelang pada akhir 1945, Sudirman tanpa henti mengejar pasukan Inggris yang menduduki Hindia Belanda.

Meskipun Inggris telah merencanakan untuk mundur, unit Sudirman terus-menerus mengganggu pasukan Inggris sehingga kepergian mereka dipermudah. Dalam persepsi pejuang kemerdekaan Indonesia, ia menjadi sosok pahlawan yang mewakili semangat bertempur sengit TNI. Dia diakui telah mendorong dan mengejar pasukan Inggris keluar dari Magelang dan memimpin serangan Ambarawa terhadap mereka. Ini merupakan pukulan telak dalam memastikan bahwa Jawa Tengah menjadi di bawah kendali penuh Republik Indonesia.

Setelah peristiwa di mana Sudirman mencapai ketenaran dan mendapat penghormatan dari sesama komandan batalyon di sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur, Presiden Sukarno, melalui Menteri Pertahanan, menunjuk Urip Sumarjo sebagai Panglima Angkatan Perang Rakyat (TKR) 5 Oktober 1945. Perwira senior Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) saat itu, Urip Sumoharjo, diangkat sebagai Panglima Besar.

Dia berjanji setia kepada TNI. Dia dianggap perwira aktif yang paling profesional dan berpengetahuan tinggi di Indonesia. Namun, para pemimpin semua batalyon di Jawa protes bahwa mereka tidak ingin memiliki Panglima Besar yang dilatih Belanda. Mereka semua memilih Sudirman sebagai Panglima Besar. Keputusan mereka dikomunikasikan kepada Presiden Sukarno. Untuk menjaga kesatuan dan perdamaian republik yang masih muda, Presiden Sukarno mengubah keputusannya. Sudirman diangkat sebagai Panglima Besar TKR, dan Urip Sumoharjo menjadi Kepala Staf Umum di bawahnya.

Pada 19 Desember 1948, meskipun ada perjanjian gencatan senjata dibawa oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, Belanda melancarkan operasi militer dalam bentuk serangan mendadak terhadap Yogyakarta, ibu kota Republik Indonesia saat itu. Banyak yang menyamakan serangan ini dengan serangan mendadak Jepang terhadap Pearl Harbor pada tahun 1941 atau pukulan dari belakang Signor Mussolini terhadap Prancis pada tahun 1940. Menghadapi kenyataan ini, banyak pemimpin negara pada saat itu memutuskan untuk tidak bertahan dan melawan serta membuktikan ketidaktertarikan tindakan Belanda melalui sarana diplomatik dan politik.

Pada akhir 1948 Jenderal Sudirman, Panglima Angkatan Perang Indonesia pertama, menderita tuberkulosis akut. Kesehatannya sangat buruk, dan dia hanya memiliki satu paru-paru yang berfungsi setelah operasi. Meskipun sakit, Sudirman meninggalkan rumah sakit tempat dia dirawat dan pergi menemui Presiden Sukarno pada saat dimulainya serangan mendadak Belanda. Dia menyarankan agar Presiden meninggalkan Yogyakarta bersama Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan memimpin perang gerilya melawan pasukan Belanda. Namun, Presiden Sukarno menolak untuk memimpin perang gerilya.

Sukarno bahkan memerintahkan Jenderal TNI Sudirman tetap di kota karena kondisi medisnya yang parah. Presiden Sukarno, bersama hampir seluruh anggota kabinetnya, memilih untuk tidak meninggalkan kota untuk berperang dan menawarkan perlawanan yang sangat sedikit ketika pasukan Belanda yang maju menangkap mereka.

Jenderal Sudirman memutuskan untuk meninggalkan Yogyakarta dan melakukan perang gerilya melawan musuh. Berdasarkan catatan sejarah, dapat dipahami bahwa rakyat Indonesia sangat kecewa dengan berita penangkapan Presiden, Wakil Presiden, dan Perdana Menteri Indonesia. Namun, perlawanan sengit yang dilakukan oleh Jenderal TNI Sudirman dan pasukannya meningkatkan semangat seluruh bangsa, dan TNI akhirnya memenangkan pertarungan.

Dengan berbagai keputusan teladan, Jenderal Sudirman telah memberikan kepada generasi berikutnya TNI sebuah warisan tangguh dan terhormat, yaitu tradisi kepahlawanan dalam bentuknya yang paling murni. Kepemimpinannya dalam perang gerilya melawan Belanda meninggalkan landasan harga diri dan kebanggaan untuk para pemimpin TNI generasi mendatang.

Jenderal Sudirman telah menunjukkan bahwa dia memiliki kepribadian yang kuat dan tidak kekurangan keberanian, sikap tegas, dan semangat pengorbanan yang tulus. Dia sadar bahwa ada kemungkinan besar dia akan terluka dan tidak menerima perawatan medis yang memadai selama perang gerilya tersebut. Tetapi dia memilih untuk mengambil risiko nyawa dalam kepentingan negara Indonesia. Tindakannya meningkatkan kepercayaan bawahannya dan rakyat secara keseluruhan di hadapan serangan Belanda.

Sulit untuk membayangkan bagaimana jika, pada saat itu, Jenderal Sudirman juga ditawan oleh Belanda. Sikap dan tindakan Pak Dirman pada saat itu tidak lain adalah sikap dan tindakan seorang pemimpin pejuang sejati. Perbuatannya telah memberikan reputasi TNI sebagai kekuatan tanpa henti yang mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan individu atau kelompok. Dia menegaskan tradisi TNI untuk mengorbankan segalanya demi kehormatan dan kemuliaan bangsa.

Source link