Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan uji materi terkait ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dengan pencabutan ambang batas pencalonan sebesar 20 persen, setiap partai politik kini memiliki kesempatan untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden mereka sendiri pada Pilpres 2029. Hakim Konstitusi Saldi Isra menyatakan bahwa Pasal 222 UU Nomor 7/2017 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 222 tersebut mengatur bahwa calon presiden dan wakil presiden hanya dapat diusulkan oleh partai politik yang memiliki minimal 20 persen kursi DPR atau memperoleh 25 persen suara sah nasional pada pemilu sebelumnya. Menurut Saldi Isra, hal ini tidak hanya melanggar hak politik dan kedaulatan rakyat, namun juga tidak sesuai dengan moralitas, rasionalitas, dan keadilan yang dianggap tidak dapat diterima. Setelah melalui serangkaian uji materi sebanyak 27 kali, MK akhirnya memutuskan bahwa ambang batas pencalonan presiden tersebut bertentangan dengan UUD 1945.
Pencabutan ambang batas ini diharapkan dapat menghindari polarisasi dalam masyarakat dan memberikan kesempatan bagi partai politik untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden tanpa terkekang oleh syarat kursi DPR. Kemungkinan adanya banyak pasangan calon dari berbagai partai politik juga dinyatakan membuka prospek yang lebih luas dalam sistem pemilihan presiden di masa depan. MK juga menegaskan bahwa pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden adalah hak konstitusional semua partai politik peserta pemilu, sebagaimana diatur dalam revisi UU 7/2017.