Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly ternyata memiliki pengalaman hidup yang unik saat masih kecil. Pria kelahiran, 23 Mei 1953 ini merupakan anak kolong yang sudah terbiasa menjalani hidup sederhana. Dia adalah putra seorang polisi yang sederhana.
“Kehadiran saya di sini, sebenarnya untuk berjumpa dengan Anda semua serta membagikan pengalaman hidup saya yang tertuang dalam buku Biografi yang berjudul: “Anak Kolong Menjemput Mimpi,” ungkap Yasonna pada kegiatan bertajuk “Satu Jam Bersama Menteri Hukum dan HAM: Anak Kolong Menjemput Mimpi” di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Serang, Banten, Kamis, 26 Oktober 2023.
Dia mengungkapkan, acara bedah buku biografinya tersebut sekaligus menandai usianya yang ke-70 pada 23 Mei lalu. Usia yang cukup untuk mengambil banyak hikmah dari perjalanan kehidupan.
“Dari judul tadi, Anda sekalian pasti sudah mengira bahwa saya anak polisi yang lazim dijuluki anak kolong. Tidak salah anggapan itu, memang saya anak seorang polisi, tapi soal anak kolong, saya memang lebih sering tidur di kolong. Entah itu kolong meja, kolong bangku dan paling sering kolong tempat tidur,” tuturnya.
Dia mengatakan, kebiasaannya tidur di kolong tersebut bukan disengaja, tetapi karena kondisi rumah orang tuanya yang sangat kecil.
“Ini bukan disengaja, karena memang banyak tamu, banyak saudara dan siapapun datang ke rumah kami. Padahal rumah kami kecil, maklum rumah dinas asrama polisi di Sibolga. Saya menghabiskan masa kecil saya di Sibolga tapi saya lahir di Sorkam, sebuah dusun yang letaknya dekat dengan Sibolga,” ujarnya.
Yasonna mengungkapkan, kendati dirinya anak kampung, namun dia memiliki cita-cita yang sangat tinggi.
“Jadi, saya ini anak kampung, tapi saya bercita-cita tinggi, seperti Bung Karno pernah mengatakan: “Gantungkan cita-citamu setinggi langit. Kalau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang,” ungkapnya.
Dia mengungkapkan, Desa Sorkam tempat kelahirannya merupakan desa terindah baginya.
“Berdasarkan literatur yang saya baca, sejak abad ke-16, Sorkam sudah berjaya sebagai penghasil kemenyan. Nah, itulah desa kelahiran saya, Sorkam,” ucapnya.
“Kembali ke soal anak kolong, ayah saya berasal dari Nias bernama Faoga’aro Laoly, pangkat terakhirnya Mayor. Ibu saya Resiana Sihite berasal dari suku Batak,” tambahnya.
Dia mengisahkan, sebelumnya, orang tuanya mengontrak rumah, sampai akhirnya diberi izin tinggal di rumah dinas.
“Jangan berpikir rumah dinasnya besar, sama sekali tidak, rumah dinas bapak kami memiliki dua kamar, satu dipakai bapak dan mamak, satu kamar lagi untuk kami, saya punya enam adik, bayangkanlah itu betapa sesaknya tidur saling menempelkan kepala macam itu,” kenangnya.
“Kalau ada tamu, kami dievakuasi ke ruang tamu, dan saya kebagian tidur di kolong. Jadi benarlah, kalau saya ini anak kolong,” katanya.
Lebih jauh Yasonna menceritakan, saat bapaknya bisa membeli rumah, hatinya sangat senang. Meski rumahnya kecil tapi setidaknya dibuatkan kamar baru.
“Pikir saya berarti berakhir pula nasib tidur di kolong. Ternyata Tuhan berkehendak lain, saya tetap tidur di kolong, karena lebih banyak lagi tamu datang dan menginap di rumah,” imbuhnya.
“Begini ceritanya, Bapak saya, dianggap tokoh Nias di Sibolga dan Tapanuli Tengah, dengan begitu banyak orang Nias datang ke rumah kami, menceritakan masalahnya lalu juga menginap, karena banyak hal. Misal saja, kapal rute Nias-Sibolga tak berlayar karena badai dan memang saat itu, tidak setiap hari ada kapal yang menyeberang ke Nias. Jadi mau tidak mau, mereka menginap di tempat kami, bisa satu, dua orang bahkan lebih,” lanjutnya.
“Kalau sudah begini, lagi-lagi, saya kembali jadi anak kolong, karena tidak kebagian tempat tidur. Apalagi jika yang datang pendeta, bapak pasti minta mamaku untuk menyembelih ayam, lalu kami makan bersama duduk di tikar. Tinggal mamakku yang bingung, gaji bapak tidak seberapa tapi tamu tak pernah berhenti datang,” ujarnya.
“Apalagi jika ada tamu pendeta, maka harus ada u