LEADERSHIP OF INDONESIAN NATIONAL LEADERS [PRESIDENT SUKARNO]

by -68 Views

Dalam sejarah Indonesia, beberapa ksatria telah menunjukkan keberanian dan ketangguhan mereka. Para ksatria yang berani untuk melawan penjajah asing daripada tunduk kepada atau tunduk pada kekuatan asing yang congkak dan sombong. Salah satu ksatria yang menjadi panutan saya adalah Presiden pertama Republik Indonesia, Bung Karno. Dia adalah seorang intelektual besar, orator, dan pengorganisir. Banyak yang bisa kita pelajari dari Presiden pertama Indonesia, Presiden Soekarno. Pelajaran yang saya pelajari darinya bisa menjadi sebuah buku tersendiri. Bung Karno lahir di Surabaya pada tahun 1901. Pada tahun 1927, di usia yang masih muda 26 tahun, ia mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI). Karena tulisannya yang mempengaruhi semangat nasionalisme di kalangan rakyat Indonesia, pada tahun 1929, Bung Karno ditangkap oleh Belanda dan dipenjarakan di penjara Banceuy, Bandung. Setahun kemudian, ia dipindahkan ke penjara Sukamiskin. Dari penjara, Sukarno menyusun pidato fenomenalnya, Indonesia Menggugat. Sebuah pidato sejarah yang saya anggap masih sangat relevan hari ini. Dari tahun 1938 hingga 1942, Bung Karno diasingkan ke Ende. Belanda, karena keadaan saat itu, hanya membebaskannya selama pendudukan Jepang di Indonesia pada tahun 1942. Selama waktu ini, ia aktif bekerja untuk merealisasikan kemerdekaan Indonesia, merumuskan Pancasila dan Konstitusi 1945, serta menetapkan dasar bagi pemerintahan Indonesia yang baru. Dalam buku ini, saya ingin menyoroti beberapa peristiwa sejarah yang signifikan yang sangat mempengaruhi arah negara dan bangsa kita. Yang pertama adalah keberanian Presiden Sukarno untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Seperti yang bisa dibayangkan, saat itu, negara kita bisa dikatakan tidak memiliki apa-apa. Namun, Presiden Sukarno berani mengumpulkan massa di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta, dan membacakan pidato berikut: Saudara-saudara, sesama rakyat saya! Saya sudah mengumpulkan Anda di sini untuk menjadi saksi dari salah satu peristiwa paling penting dalam sejarah kita. Selama puluhan tahun, kita rakyat Indonesia telah berjuang untuk kemerdekaan tanah air kita. Selama ratusan tahun, bahkan! Banyak gerakan kita untuk merebut kemerdekaan telah mengalami kemajuan dan kemunduran, tetapi semangat kita tetap berada pada tujuan kita. Juga, selama kolonialisme Jepang, upaya kita untuk mencapai kemerdekaan kita tidak pernah henti. Mungkin terlihat bahwa kita bergantung pada Jepang, tetapi pada intinya, kita bergantung pada tekad kita, pada kekuatan kita. Sekarang waktunya sudah tiba untuk benar-benar mengambil alih takdir bangsa kita, tanah air kita. Hanya bangsa yang berani mengontrol takdirnya sendiri yang akan mampu tegak teguh dan bangga. Jadi, kami dengan tegas menyatakan: Seseorang bisa membayangkan keadaan pikiran Bung Karno saat itu. Dia dan Bung Hatta menyatakan kemerdekaan Indonesia. Pernyataan ini membangkitkan pemberontakan melawan Pasukan Sekutu, yang merupakan pemenang Perang Dunia II dan memiliki senjata nuklir. Kami tidak memiliki apa-apa saat itu. Senjata yang kami miliki adalah sisa-sisa arsenal Belanda dan Jepang yang berhasil kami rebut. Peristiwa kedua yang sangat berpengaruh dalam pembentukan Indonesia, dan bagi saya, adalah pidato yang disampaikan oleh Presiden Sukarno dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 1 Juni 1945. Saat itu, Presiden Sukarno dalam tekanan besar untuk menciptakan landasan ideologis bagi negara Indonesia yang baru merdeka. Ada yang mendorong untuk landasan ideologis berdasarkan agama atau kelompok etnis tertentu. Namun dengan tenang, ia memutuskan, di depan rapat tersebut, bahwa Indonesia akan didirikan berdasarkan Pancasila. Presiden Sukarno berkata: Kami ingin menciptakan sebuah negara untuk semua orang. Bukan untuk satu orang, bukan untuk satu kelompok, bukan untuk kaum aristokrat, bukan untuk orang kaya – melainkan untuk semua orang! Republik Indonesia tidak dimiliki oleh satu kelompok, maupun tidak dimiliki oleh agama tertentu atau kelompok etnis atau budaya tertentu, melainkan itu milik kita semua dari Sabang hingga Merauke. Dalam buku ini, saya juga ingin membahas Bung Karno dari sudut pandang Profesor Soemitro, ayah saya. Pak Soemitro sangat dikenal dalam sejarah Indonesia sebagai salah satu lawan politik Bung Karno yang lama. Pak Soemitro bahkan ikut dalam ‘pemberontakan’ PRRI/Permesta melawan pemerintahan Presiden Sukarno. Karena saya adalah putra Profesor Soemitro, beberapa orang bisa mengatakan bahwa saya berasal dari keluarga anti-Sukarno. Namun, yang menarik, Pak Soemitro selalu mengingatkan kami, anak-anaknya, bahwa dia melawan Bung Karno karena pandangan politik yang berseberangan, terutama terkait dengan komunisme dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dia pernah berkata, ‘Tapi, anak-anakku, kalian harus ingat bahwa saya tidak pernah mengatakan bahwa Bung Karno bukan pemimpin besar. Bung Karno adalah salah satu pemimpin yang luar biasa yang pernah dimiliki Indonesia. Bung Karno menyatukan ratusan suku, kelompok agama yang berbeda, faksi politik, dan adat istiadat untuk satu tujuan: Indonesia Merdeka.’ Pak Soemitro pernah mengatakan kepada kami bahwa jika bukan karena Bung Karno, kita mungkin tidak akan pernah meraih kemerdekaan Indonesia yang bersatu namun justru akan berakhir dengan puluhan republik yang berbeda-beda. Dan itulah yang sebenarnya diinginkan Belanda: melihat Indonesia terpecah menjadi puluhan negara yang berbeda. Demikian juga yang diinginkan beberapa negara lain di sekitar kita. Itulah yang dikatakan ayah saya kepadaku. Kemudian, Pak Mitro menceritakan bagaimana dia, pada awal tahun 1950-an, mencoba meyakinkan Bung Karno untuk tidak bermitra dengan PKI. Hingga suatu hari, Bung Karno kesal dengan Pak Mitro dan memarahinya. Bung Karno mengatakan kepada Pak Mitro, ‘Hei Mitro, saat kau masih memakai celana pendek, aku sudah masuk dan keluar dari penjara. Ingatlah hal itu. Kamu hanya urusi ekonomi dan biarkan politik padaku. Aku lebih memahami politik Indonesia daripada kamu.’ Pak Mitro mengatakan kepadaku bahwa Sukarno benar. Ketika Bung Karno pertama kali dipenjarakan, Pak Mitro masih berusia 15 tahun. Tetapi, menurut Pak Mitro, ‘Aku tidak bermaksud buruk. Aku hanya ingin agar Bung Karno tidak terjebak. Aku yakin suatu hari PKI akan mengkhianati Bung Karno.’ Dalam hubungannya dengan Bung Karno, Pak Mitro juga menceritakan kepada saya bahwa sebenarnya, pilihan pertama Bung Karno sebagai Wakil Perdana Menteri 1 (WAPERDAM 1) suatu saat adalah dia, bukan Dokter Subandrio. Tetapi ketika dia ditawari posisi itu, dia sekali lagi mendorong Bung Karno untuk tidak bekerjasama dengan PKI. Bung Karno marah dengan ketegasan Pak Mitro, dan dia memilih Dokter Subandrio sebagai gantinya. Ketika Pak Mitro menceritakan kisah itu kepadaku, aku berkata padanya, ‘Pak, aku rasa kamu melakukan kesalahan. Kamu seharusnya tidak meninggalkan Bung Karno. Jika kamu berada di sisinya, mungkin kamu bisa mencegah manuver PKI.’ Pak Mitro memikirkan apa yang aku katakan untuk waktu yang cukup lama sebelum dia mengakui: ‘Kupikir kamu benar, Bowo. Aku seharusnya tidak pernah meninggalkan Bung Karno.’ Beberapa tahun kemudian, saya mendengar dari adikku Hashim Djojohadikusumo bahwa sekitar sebulan sebelum Pak Mitro meninggal, ketika ia sakit di tempat tidur, Pak Hashim bertanya kepadanya, ‘Pak, apakah kamu memiliki penyesalan dalam hidupmu? Apa yang paling kamu sesali dalam hidupmu?’ Jawaban Pak Mitro adalah, ‘Ada satu hal yang paling saya sesali: saya meninggalkan Bung Karno. Seharusnya saya tetap berada di sisinya.’ Itulah pelajaran yang saya catat. Dan itu adalah norma di antara Generasi ’45 — mereka memiliki pandangan yang berlawanan, tetapi mereka saling menghormati. Juga, saya belajar bahwa kita harus selalu fleksibel dan tidak terlalu kaku dalam pendirian kita karena, pada suatu saat, pandangan kita mungkin menjadi kurang relevan saat dilihat dari konteks yang berbeda dan era yang berbeda. Ada sesuatu yang lain yang membuat saya terkesan. Saya ingat ketika Pak Mitro membawa saya ke Istana Merdeka ketika saya berusia lima tahun. Saya melihat Bung Karno berdiri di atas tangga. Dia tinggi, berpostur baik, karismatik, dengan senyum lebar di wajahnya. Suaranya dalam dan bergemuruh. Saya ingat bahwa dia mengangkat saya seperti akan melempar saya ke udara. Lalu dia menurunkan saya. Saya tidak ingat dengan pasti…

Source link