Demokrasi Bucin dan Politik Receh: Suatu Fenomena yang Melanda Indonesia

by -109 Views

Bogor – Menjelang Pemilu dan Pilpres 2024, Indonesia sedang berada dalam situasi demokrasi yang mati rasa, terkikis oleh politik bucin dan politik receh yang telah memengaruhi sejak Pilpres 2014. Generasi Milenial dan Generasi Z, terutama kalangan akademisi dan mahasiswa, diharapkan untuk melawan proses pelemahan demokrasi ini.

Substansi itu disampaikan dalam diskusi bertajuk “Problematika dan Kontekstualisasi Demokrasi Indonesia Terkini” yang diadakan oleh Pengurus Sylva Indonesia cabang Institut Pertanian Bogor (IPB), di Kampus IPB, Dramaga, Bogor, Jawa Barat, pada Rabu, 13 Desember 2023. Pembicara dalam diskusi tersebut adalah Prof.Moh.Zulfan Tadjoeddin dari Western Sydney University, Dr.Meilania Buitenzorgy dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Dr.Airlangga Pribadik K dari Jaga Pemilu, Seniman Akbar Yumni, dan Adit Muhammad dari Sylva IPB. Peserta diskusi adalah mahasiswa IPB.

Prof. Zulfan Tadjoeddin menguraikan tentang perjalanan panjang transisi demokrasi Indonesia sejak era kemerdekaan hingga saat ini. Ia membeberkan bagaimana Indonesia pada tahun 1950-an pernah mengalami demokrasi liberal; kemudian era pembangunan ekonomi di masa Orde Baru Soeharto.

Dijelaskan bagaimana peningkatan kesejahteraan ekonomi di era Orde Baru menghasilkan masyarakat yang memiliki pendidikan dan kesejahteraan lebih baik yang akhirnya menuntut kebebasan.

“Rakyat ingin didengar dan tak mau dibungkam. Akhirnya lahirlah Reformasi 1998. Orde Baru tumbang. Dan Indonesia pun memasuki masa transisi demokrasi,” kata Prof. Zulfan.

Hingga pada kondisi sekarang ini, demokrasi mengalami penurunan yang sangat mengkhawatirkan menurut Zulfan. Demokrasi yang rusak tidak disebabkan oleh ancaman senjata, tetapi demokrasi bisa dirusak oleh mereka yang terpilih secara demokratis.

Meilanie Buitenzorgy kemudian menjelaskan tentang fenomena demokrasi bucin (budak cinta) dan “politik receh” yang terjadi sejak tahun 2014 hingga 2019, memunculkan polarisasi di tengah masyarakat.

Semuanya dimulai sejak 2014 hingga 2019, memunculkan polarisasi di tengah rakyat. Muncul istilah Cebong sebagai simbol pendukung Pemerintahan Jokowi, lalu Kampret dan Kadrun untuk pendukung Prabowo.

Ternyata itu berlanjut dalam kehidupan sehari-hari. Apapun kebijakan Pemerintah pasti dianggap benar dan dibela oleh Cebong. Sebaliknya apapun kebijakan Pemerintahan selalu salah dan dicerca oleh Kampret dan Kadrun. Sementara politik receh terinspirasi dari pemenangan Bongbong Marcos di Filipina yang mengaburkan substansi dengan mendorong politik show.

Meilanie menyatakan bahwa semua pemimpin Indonesia pasca kepemimpinan BJ Habibie dan semua partai politik bertanggung jawab atas merusakkan citra kandidat yang dulunya memiliki catatan negatif, membuatnya terpilih pada pemilihan presiden.

Ia menekankan pentingnya sinergi dari Generasi Milenial dan Generasi Z untuk mempertahankan demokrasi, bukan hanya sebagai pengkhianatan demokrasi dan etika, namun juga pengingkaran kontrak sosial negara ini.

Airlangga Pribadi menyoroti soal debat pertama Pilpres 2024 yang mengangkat isu Hukum dan HAM.

Saat itu, ia terkejut melihat bagaimana pelanggaran HAM masa lalu dan masih menyisakan belasan nyawa yang hilang dianggap hal biasa dan lumrah. Bahkan dianggap politisasi. Baginya, kondisi ini bisa disebut kondisi “mati rasa”.

Airlangga mengingatkan bahwa para pendiri bangsa telah menyepakati bahwa Indonesia untuk semua. Maka para generasi muda Indonesia harus bergerak dan tampil sebagai kelas menengah, kekuatan yang masih diharapkan untuk membela dan mempertahankan demokrasi.