Pada Minggu pagi yang berkabut di kaki Gunung Tangkuban Parahu, ribuan orang datang dengan balutan adat Sunda, Dayak, Minahasa, Bali, dan lain-lain. Mereka berjalan pelan, membawa doa dalam diam, untuk menghadiri Ngertakeun Bumi Lamba — sebuah ritual yang sederhana namun penuh makna: bumi bukanlah milik kita, kita hanya menumpang hidup di atasnya.
Di tengah dunia yang semakin gaduh oleh konflik dan kerakusan, prosesi ini seperti jeda yang menampar kesadaran. “Ngertakeun” berarti memelihara, “bumi lamba” berarti tanah luas yang agung. Kata-kata ini barangkali sederhana, tetapi pesannya sangat dalam: bahwa kita punya kewajiban memakmurkan bumi, bukan mengurasnya. Bahwa bumi memberi tanpa pernah menuntut, tetapi saat waktunya tiba, ia bisa mengambil semuanya kembali.
Karinding, angklung, tabuhan Minahasa, dan mantra Bali bergema, menyatukan peserta dalam harmoni lintas iman dan suku. Bapak Wiratno berkata, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu mewariskan kearifan pada yang belum lahir.” Andy Utama memperingatkan, “Jangan pernah berhitung dengan bumi, sebab jika bumi mulai berhitung dengan kita, semua sudah terlambat.” Dan memang, kita telah melihat bencana demi bencana akibat ego kita sendiri.
Mayjen Rido menyebut ritual ini sebagai pengadilan batin. Pangalangok Jilah berkata, “Alam tidak butuh manusia, manusialah yang butuh alam,” sebelum pekikan “Taariu!” menggema di lereng gunung. Dan memang benar. Bumi tak pernah meminta kita hadir, tetapi kita tak bisa hidup tanpanya.
Tiga gunung — Tangkuban Parahu, Wayang, Gede Pangrango — dianggap sebagai pilar semesta. Dody Baduy mengingatkan dengan sederhana: “Gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang dirusak.” Pesan ini terasa semakin penting di era ketika gunung kita digali, hutan ditebang, laut dicemari tanpa henti.
Ritual selesai, tetapi getaran pesannya masih ada di dada siapa pun yang hadir. Amanah itu sederhana: jaga bumi, rawat ajaran leluhur, hidup dengan cinta dan hormat pada semua makhluk. Upacara ini bukan hanya seremoni tahunan, melainkan peringatan bahwa bumi akan tetap ada tanpa kita, tetapi kita tidak akan ada tanpa bumi.
Ngertakeun Bumi Lamba adalah pengingat keras bahwa kita adalah tamu. Dan tamu yang baik tahu diri. Sebab bila kita tak tahu diri, tuan rumah pun berhak mengusir kita kapan saja.
Di Megamendung, komunitas Arista Montana bersama Yayasan Paseban dan Andy Utama membuktikan bahwa filosofi ini bukan hanya kata-kata. Lebih dari 15.000 pohon telah mereka tanam, hutan mereka rawat, burung-burung kembali ke habitatnya. Ini bukti bahwa manusia mampu merawat, jika saja mau sedikit lebih rendah hati.
Sumber: Ngertakeun Bumi Lamba: Menganyam Cinta Kasih Nusantara Di Tubuh Semesta
Sumber: Ngertakeun Bumi Lamba: Upacara Adat Nusantara Untuk Cinta Kasih Semesta Dan Pelestarian Alam