Pada Rabu, 8 Oktober 2025, dalam sidang praperadilan Nadiem Anwar Makarim, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, I Ketut Darpawan, menegaskan pentingnya proses sidang yang bebas dari intervensi. Ia merupakan hakim tunggal dalam sidang tersebut dan telah teruji integritasnya saat menerima penghargaan sebagai Insan Anti Gratifikasi Tahun 2024. Hakim Darpawan menerima penghargaan ini sebagai Ketua Pengadilan Negeri Dompu dan penghargaan tersebut diberikan langsung oleh Ketua Mahkamah Agung RI, YM. Prof. Dr. H. Sunarto, S.H. M.H. Dalam praperadilan Nadiem, Hakim Darpawan memberikan kesempatan Amicus Curiae dari 12 tokoh antikorupsi untuk berbicara di persidangan, sebuah terobosan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Praperadilan. Dalam persidangan tersebut, peneliti senior LeIP, Arsil, serta pegiat antikorupsi, Natalia Soebagjo, mewakili 10 amici lainnya untuk menyampaikan isi Amicus Curiae.
Menurut Arsil, praperadilan di Indonesia dianggap telah menyimpang karena tidak berhasil menjalankan fungsinya sebagaimana yang dimaksudkan dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau KUHAP. Proses pemeriksaan praperadilan sering kali dianggap mirip dengan prosedur hukum acara perdata, dengan pihak yang mengajukan dalil harus membuktikannya. Para amici menilai bahwa prosedur pemeriksaan praperadilan saat ini tidak baku karena KUHAP tidak mengatur secara jelas tahapan-tahapan pemeriksaan praperadilan. Prinsip “siapa yang mendalilkan, dia yang membuktikan” dinilai tidak cocok karena praperadilan merupakan bagian dari hukum pidana. Bahkan, pengajuan praperadilan berbentuk permohonan atau gugatan saja sama sekali tidak diatur dalam KUHAP. Maka, perlunya peninjauan kembali terhadap prosedur pemeriksaan praperadilan agar mencapai keadilan yang sesungguhnya.





