Sebuah tanah seluas dua hektare di Desa Ujung Bandar, Rantau Selatan, Labuhanbatu, memiliki nilai sejarah yang mendalam bagi keluarga Ramali Siregar. Namun, tanah warisan tersebut diduga telah berpindah kepemilikan ke empat perusahaan dan lima individu dengan sertifikat terbitan 1995, sehingga meningkatkan kecurigaan terhadap praktik mafia tanah dan peradilan di wilayah tersebut.
Putusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat yang menguntungkan para tergugat pada bulan Juni telah memicu reaksi dari masyarakat, termasuk keluarga Ramali Siregar. Ibu Jurtini Siregar, yang didampingi LSM Kemilau Cahaya Bangsa Indonesia (KCBI), memutuskan untuk mengambil langkah hukum dengan menuntut keadilan yang seharusnya mereka terima.
Menyadari bahwa kasus tersebut bukan hanya sengketa agraria biasa, LSM KCBI menganggap vonis PN Rantau Prapat telah melanggar logika hukum. Segel asli tanah yang berasal dari tahun 1982 dan dokumen-dokumen lainnya diabaikan, sementara segel 1990 yang diduga palsu dijadikan sebagai dasar legitimasi kepemilikan tanah tersebut. Hal ini menunjukkan adanya kolusi dan penyalahgunaan wewenang yang mengorbankan hak-hak rakyat.
Dalam upaya mendapatkan keadilan, langkah-langkah selanjutnya telah dipersiapkan, mulai dari banding ke Pengadilan Tinggi Medan, pelaporan ke KPK dan Komisi Yudisial, hingga permohonan perlindungan saksi. Seruan kepada negara juga dilakukan agar memperhatikan kasus ini dengan serius, dengan mengaudit penerbitan sertifikat tahun 1995, memberikan pengawasan khusus pada perkara agraria yang mencurigakan, dan membentuk satuan tugas bersama anti-mafia tanah di Labuhanbatu dan wilayah lainnya.
Jurtini Siregar adalah salah satu dari banyak korban perampasan tanah di Indonesia, dan keadilan yang tertunda adalah keadilan yang dirampas. Dengan upaya dan dukungan yang kuat, diharapkan kasus ini bisa menjadi dorongan untuk membersihkan praktik mafia agraria dan memastikan perlindungan hukum bagi semua pihak yang terkena dampak.