Sabtu, 4 Mei 2024 – 09:14 WIB
Jakarta – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mengatakan korban kekerasan seksual tidak boleh diperlakukan dengan proses birokrasi yang merepotkan dalam penanganan kasus yang dialami.
“Jangan sampai korban dijadikan bola pingpong,” kata Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA Ratna Susianawati dalam sebuah wawancara media yang berjudul “Pemerintah Sahkan Peraturan Turunan UU TPKS, Perpres UPTD PPA Jadi Acuan Perlindungan Korban Kekerasan”, di Jakarta, Jumat, 3 Mei 2024.
Ratna Susianawati menyatakan bahwa layanan yang mobile, seperti Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA), harus mengikuti korban. “Yang mobile adalah layanannya, bukan korban,” ujarnya.
Menurutnya, korban yang merasa direpotkan dengan birokrasi dapat berdampak pada kesehatan mental korban dan menyebabkan trauma yang lebih dalam.
“Layanan UPTD PPA yang terintegrasi adalah mandat dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual,” tambahnya.
Sebelum UU TPKS disahkan, terdapat enam layanan dasar di UPTD PPA, mulai dari pengaduan, penjangkauan korban, pengelolaan kasus, mediasi, penampungan sementara, hingga pendampingan korban. Setelah UU TPKS disahkan, layanan UPTD PPA ditambah dengan lima layanan tambahan.
Pemerintah telah mengesahkan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2024 tentang Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) sebagai bagian dari upaya melindungi dan memenuhi hak korban melalui pelayanan terpadu untuk memastikan korban mendapatkan layanan yang cepat sesuai kebutuhan mereka dengan meminimalkan terjadinya pengulangan kekerasan terhadap korban.